Indonesiaberdaulat.com – Dalam sistem pemerintahan Indonesia, terdapat ketimpangan mencolok antara kesejahteraan hakim, yang sering dijuluki sebagai “wakil Tuhan,” dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang dikenal sebagai “wakil manusia.”
Ironi ini terlihat jelas ketika melihat besarnya tanggung jawab hakim dalam menegakkan keadilan, yang tidak sebanding dengan penghasilan yang mereka terima, sementara anggota DPR dengan segala tunjangan dan fasilitas menikmati pendapatan yang jauh lebih besar.
Hakim sehari-hari bergelut dengan tumpukan perkara, bekerja keras untuk memisahkan kebenaran dari kebatilan, namun imbalan yang mereka terima terasa kecil dibandingkan tanggung jawab moral yang diemban.
Lebih mengkhawatirkan lagi, para hakim telah mengalami stagnasi gaji selama lebih dari 12 tahun.
Di saat volume perkara yang mereka tangani terus meningkat, kesejahteraan mereka tetap tidak berubah.
Jumlah kasus yang membanjiri pengadilan semakin meningkat, membuat para hakim kian terbebani, tetapi upah mereka tidak mengikuti peningkatan beban kerja tersebut.
Fakta bahwa gaji hakim tidak naik selama lebih dari satu dekade mempertegas ketidakadilan ini, seolah-olah peran vital mereka dalam menjaga keadilan tidak mendapatkan apresiasi yang layak.
Sementara itu, di sisi lain, anggota DPR dengan dukungan partai politik dan akses kekuasaan politik, tampak memiliki posisi tawar yang jauh lebih kuat.
Posisi politik memberi mereka kemampuan untuk mempengaruhi sistem yang ada, yang pada gilirannya menguntungkan mereka secara ekonomi.
Hal ini menciptakan kesan bahwa “wakil manusia” diuntungkan oleh sistem, sementara “wakil Tuhan” justru terabaikan.
Apakah karena peran politik yang lebih strategis atau karena sistem yang lebih berpihak pada kekuatan politik? Hanya Tuhan yang tahu.
Namun, di tengah kenyataan pahit ini, muncul secercah harapan. Presiden terpilih Prabowo Subianto telah berjanji untuk memperbaiki kesejahteraan para hakim.
Dalam percakapan telepon dengan DPR, ia menyatakan komitmennya untuk mengupayakan kenaikan tunjangan dan gaji hakim agar lebih sejalan dengan tanggung jawab besar mereka.
Ini bukan hanya soal gaji, tetapi juga menjaga independensi lembaga peradilan dan melindungi hakim dari godaan suap, yang bisa merusak integritas mereka sebagai penegak hukum.
Masyarakat berharap, dengan pemerintahan baru yang akan datang, akan ada perubahan nyata, tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga dalam memperkuat lembaga yudikatif.
Dukungan yang lebih baik terhadap hakim diharapkan akan memperkuat sistem peradilan, menjadikannya lebih independen dan mampu menjalankan fungsinya dengan efektif.
Saat ini, adalah momen yang tepat untuk memperbaiki kesenjangan yang ada dan membangun kembali kepercayaan publik terhadap hukum di Indonesia.
Dengan langkah perbaikan yang tepat, diharapkan lembaga peradilan akan semakin kuat, dan keadilan yang sesungguhnya dapat ditegakkan di negeri ini.
Para hakim yang bekerja tanpa pamrih untuk menegakkan kebenaran patut mendapatkan perhatian lebih dari negara.
Sistem hukum yang adil dan kuat adalah fondasi dari masyarakat yang sejahtera dan damai. (Tetsu)