Indonesiaberdaulat.com, Jakarta – Indonesia, negeri dengan kekayaan budaya dan sumber daya alam yang melimpah, masih terjebak dalam warisan masa lalu yang sulit dihindari.
Setelah merdeka dari penjajahan Belanda, tidak hanya bangunan dan kanal yang ditinggalkan, tetapi juga strategi “divide et impera” yang berhasil mengakar kuat dalam masyarakat.
Tanpa disadari, mentalitas perbudakan masih menguasai—baik dalam bentuk diperbudak maupun memperbudak orang lain.
Kenikmatan hidup yang serba instan ditawarkan tanpa penanaman nilai kerja keras yang mendalam.
Akibatnya, Indonesia, meski merdeka secara fisik, tetap menjadi sasaran negara-negara maju yang siap mengeksploitasi melalui cara-cara baru yang lebih halus dan terselubung.
Elon Musk, tokoh inovasi dari Barat, baru-baru ini menunjukkan betapa pentingnya berpikir maju dalam teknologi.
Dalam proyek roketnya, Musk menemukan teknologi “chopstick” yang menyerupai sumpit, sebuah metode revolusioner untuk menangkap roket pendorong yang kembali ke bumi agar bisa digunakan lagi.
Inovasi ini tidak hanya menggambarkan cara dunia maju memandang masa depan, tetapi juga menunjukkan bagaimana mereka tidak hanya mengkonsumsi, tetapi berinovasi untuk bertahan dan berkembang.
Namun, bagaimana dengan Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo? Apakah negara ini menyadari pentingnya pendidikan dan inovasi teknologi untuk masa depan yang lebih baik?
Ataukah kita kembali terjebak dalam siklus lama: masa pemerintahan berlalu tanpa arah yang jelas, hanya diisi dengan pembangunan fisik tanpa perubahan mentalitas dan strategi?
Pembangunan fisik mungkin terlihat, tetapi tanpa perubahan mendasar dalam pola pikir dan kebijakan, Indonesia hanya akan stagnan—tidak maju, namun juga tidak sepenuhnya jatuh.
Demokrasi memang telah mengakar di negeri ini, tetapi demokrasi tanpa pendidikan yang berkualitas hanya akan menjadi alat bagi segelintir orang yang haus akan kekuasaan.
Demokrasi yang dangkal semacam ini bukanlah jembatan menuju kemajuan, melainkan senjata bagi mereka yang ingin mempertahankan atau merebut kekuasaan demi kepentingan pribadi.
Tanpa adanya reformasi besar dalam cara kita mendidik dan mempersiapkan generasi mendatang, kisah yang sama akan terus terulang.
Indonesia akan tetap terjebak dalam kemacetan, sementara negara lain sudah maju dengan inovasi “sumpit” teknologi mereka, menangkap peluang yang kita lewati tanpa disadari.
Kesadaran akan pentingnya inovasi dan pendidikan adalah kunci untuk memutus rantai stagnasi ini.
Indonesia harus segera berbenah, agar tidak lagi menjadi penonton di panggung global, tetapi ikut serta dalam kompetisi inovasi dan teknologi yang menentukan masa depan dunia. (Tetsu)